Oleh: Mahatva Yoga Adi Pradana*
Politikana – Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam rangka penanggulangan pandemic Covid-19 tentu memberikan dampak yang cukup besar bagi pembuatan aturan di daerah-daerah. Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020, sejatinya memberikan ruang kepada daerah untuk membuat aturan sendiri terkait Covid-19. Ketika lockdown pertama kali di umumkan oleh pemerintah pusat, banyak kepala daerah berlomba-lomba untuk menjadikan daerahnya lockdown juga. Akhirnya problem daerah merasa bahwa kewenangannya terbatas dikarenakan tidak adanya aturan yang jelas.
Setiap kebijakan yang muncul tentang pemberlakukan aturan dari pusat ke daerah harus disertai turunan putusannya sebagai penguat. Inilah yang terjadi pada saat pemberlakukan PSBB di daerah. Pertama kali PSBB di berlakukan di DKI Jakarta sebagai pusat berkembanganya Covid-19, setelah itu diberlakukan di daerah penyangga Ibukota negara. Tak berselang lama, daerah-daerah lain pun mengajukan PSBB kepada pemerintah pusat. Dengan tujuan memutus mata rantai persebaran Covid-19.
Dalam PP Nomor 21 tahun 2020, pasal 2 ayat 1 menjelaskan bahwa pertimbangan diberlakukannya PSBB di daerah harus melalui persetujuan pemerintah pusat melalui menteri kesehatan. Pada pasal 2, ketentuan di berlakukannya aturan PSBB ini di dasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas,dukungan sumber daya, tehnis operasional serta pertimbangan sosial budaya ekonomi dan politik. Adanya aturan ini jelas menunjukkan bahwa pemberlakuan PSBB ini masih sangat sentralistik. Meskipun di beberapa daerah telah melakukan alternatif tindakan pencegahan sesuai karakteristiknya masing-masing.
Diskresi Daerah
Melihat aturan yang ada dalam Undang-undang No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 1 angka 9 , di jelaskan di sana bahwa Pejabat pemerintahan bisa membuat aturan dalam rangka mengatasi masalah konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan dalam UU No 23 tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah juga menyebutkan bahwa pemerintah daerah bisa memanfaatkan ruang desentralisasi sebagai daerah otonom. Adanya aturan ini serta merta dibuat dalam rangka melihat kemampuan daerah sebagai terdampak diberlakukannya aturan PSBB dari pusat. Kedua aturan tersebut jelas bisa digunakan daerah untuk melakukan perubahan atas APBD yang bertujuan penggunaan dana darurat yang ditujuan kepada menteri dalam negeri sebagai penopang penanganan pandemic Covid-19.
Mekanisme daerah dalam rangka perubahan anggaran memang telah disebutkan dalam undang-undang tersebut Pasal 316, 296 dan 239. Adanya aturan yang sudah jelas harusnya memudahkan daerah dalam melaksanakan diskresi. Meskipun secara tidak langsung diskresi ini harus memenuhi syarat yang ada dalam Pasal 22 UU Tahun 2014, yaitu mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Ruang diskresi inilah yang harusnya bisa dimanfaatkan oleh kepala daerah untuk mengatasi pandemi ini meskipun tidak menggunakan istilah PSBB. Karena undang-undang memberikan kewenangannya kepada pejabat untuk membuat aturannya masing-masing. Sesuai mekanisme aturan serta turunan peraturan yang diberlakukan. Karena saat ini daerah-daerah mengalami stagnasi yang merupakan diberlakukannnya aturan pemerintah pusat tentang, bekerja dari rumah, belajar dirumah dan beribadah dirumah. Selain adanya aturan-aturan baru yang diberlakukan pemerintah untuk tidak mudik.
Daya Tahan Sosial Politik
Ketidakpastian yang dihadapi oleh masyarakat saat ini tentang diberlakukannya aturan pembatasan membuat tingkat kejenuhan dan problematika sosial banyak terjadi. Permasalahan sosial yang ada di daerah, menjadikan kepala daerah harus membuat benteng dengan aturan-aturan yang bertujuan untuk mengatasi. Jangan sampai permasalahan sosial ini berubah menjadi krisis sosial yang rawan sekali muncul tindakan anarkis. Pandemi Covid-19 ini memang menjadi permasalahan bangsa yang sekaligus memberikan pembelajaran besar bagi adanya program desentralisasi.
Kewenangan daerah mengatur kebutuhan daerahnya saat ini diuji dengan pandemic, seberapa kuat daerah bertahan inilah yang harus menjadi fokus kepala daerah. Pemberlakuan PSBB bukan satu-satunya cara untuk memutus mata rantai Covid-19, masih ada banyak hal yang dapat diberlakukan daerah sebagai jaring pengaman sosialnya. Mencoba berunding dengan DPRD untuk segera mengupayakan adanya dana yang bisa dimaksimalkan sebagai bentuk penanganan dan pengamanan.
Selain itu upaya yang diberlakukan di daerah tidak harus menjadi kewajiban pemerintah pusat untuk terus melakukan kontrolnya. Secara politik aturan serta mekanismenya sudah jelas,tinggal menunggu pergerakan kepala daerah dalam melaksanakan percepatan penanganan masalah sosial. Memang dibutuhkan keberanian yang besar kepala daerah untuk berlomba-lomba membuat aturan yang memberi kemanfaatan. Jangan sampai aturan ini di salahgunakan ketika ada Bupati/Walikota menggunakan bantuan pusat yang berasal dari kementerian untuk pencitraan di daerahnya.
Modal Sosial Kepala Daerah
Meminjam pendapat Fukuyama ( 2000 ) tentang arah modal sosial yang harusnya diberlakukan oleh kepala daerah sebagai alternatif penanganan Covid19 yaitu melakukan kerjasama dalam kelompok yang berkaitan dengan pemenuhan nilai-nilai tradisionaldi masyarakat seperti : kejujuran, komitmen dan bertanggung jawab pada pekerjaan dan norma saling timbal balik. Karena diperlukan adanya kebersamaan dan kerjasama antar stakeholder dengan pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memutus mata rantai penyebaran.
Kepala daerah yang sudah mendapatkan kepercayaan publik sejatinya diberikan amanah oleh masyarakat untuk dapat memberikan jaminan sosial apabila keuangan masyarakat pra-sejahtera saat ini sedang sangat kekurangan. Karena adanya aturan yang sudah diberlakukan untuk membatasi segala bentuk aktifitas pekerjaan. Selain itu dibutuhkan pemberdayaan masyarakat untuk mendorong daya juang akibat tidak mendapatnya pemasukan secara ekonomi atau dalam artian keuangan menipis habis.
Pada akhirnya kepala daerah tentu saja harus melaksanakan dua amanah, amanah undang-undang yang bertujuan untuk mengatasi stagnasi pemerintahan dengan adanya pandemic covid 19 ini. Dimana banyak sektor-sektor yang menopang kehidupan sosial ekonomi masyarakat berhenti sejenak. Untuk itu dibutuhkan smart policy dan smart people sebagai alternative pemecahan dan inovasi daerah menangani pandemi. Bukan mengedepankan adanya sangsi sosial bahkan hukuman pidana serta denda. Sedang amanah yang kedua berasal dari masyarakat yang sudah memberikan kepercayaannya dan komitmen untuk memilih kepala daerah. Karena pada prinsipnya kewenangan ini bukan untuk menjadi kesewenangan tapi otoritas yang diberikan sebagai bentuk menangani dan meminimalkan dampak dari adanya pandemic Covid-19.
*Penulis adalah Dosen Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta