Ramadhan Lecture, Ramadhan Pembentuk Jati Diri
Reportasemalang – Kota Malang, Koordinator Komisariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Universitas Brawijaya menyelenggarakan kegiatan Ramadhan Lecture (Kuliah Ramadhan) di Masjid Baitul ‘Alim FIA UB pada Jumat, 14 April 2023. Ramadhan Lecture di hari itu berlangsung pada waktu sore hari dan dirangkaikan dengan buka puasa bersama.
Acara yang bertemakan “Ramadhan sebagai Penguat Nilai Keislaman dan Keindonesiaan” tersebut menghadirkan dua pemateri, yaitu Prof. Dr. Ir. Imam Santoso, MP, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Malang & Wakil Rektor 1 Universitas Brawijaya dan Akhmad Muwafik Saleh, S. Sos., M.Si., pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Tanwir Al-Afkar Malang.
Selaku pemateri pertama, Prof. Imam menyampaikan bahwa Ramadhan merupakan instrumen untuk membentuk individu dengan jiwa keislaman dan keindonesiaan yang kuat. Beliau menjelaskan, manusia pada hakikatnya terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi jasmani dan dimensi rohani. Terkadang manusia tidak dapat untuk menyeimbangkan keduanya dan cenderung berfokus hanya pada dimensi jasmani, sehingga dimensi rohani menjadi bermasalah.
“Sering kali rohani ini kalah karena terlalu besarnya aspek jasmani, maka pintu atau instrumen jalan yang dipakai untuk menguatkan dimensi rohani adalah dengan berpuasa,” jelas beliau.
Dimensi jasmani yang kuat dapat menjadi pintu masuk bagi hawa nafsu dan setan untuk menggoda manusia. Sumber kekuatan jasmani adalah makan dan minum, maka berpuasa akan menekan dimensi jasmani dan sekaligus menguatkan dimensi rohani.
Dalam Surah Al-Baqarah ayat 183 menyebutkan tentang perintah puasa yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ.
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Prof. Imam menyampaikan bahwa perintah untuk berpuasa tersebut merupakan perintah yang istimewa, karena puasa menguatkan aspek spiritual yang mendorong manusia untuk mengerjakan amal saleh dan memperbaiki dimensi sosial.
“Puasa itu adalah melatih membersihkan jiwa kita sekaligus menguatkan kepekaan sosial,” sambungnya.
Terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA yang menyebutkan empat golongan yang dirindukan surga. Hadis tersebut berbunyi:
الْجَنَّةُ مُشْتَاقَةٌ اِلَى أَرْبَعَةِ نَفَرٍ : تَالِى الْقُرْانِ, وَحَافِظِ اللِّسَانِ, وَمُطْعِمِ الْجِيْعَانِ, وَصَا ئِمٍ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ
Artinya: “Surga merindukan empat golongan: orang yang membaca Al Quran, menjaga lisan (ucapan), memberi makan orang lapar, dan puasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Pada hadis tersebut, secara jelas disebutkan bahwa orang yang berpuasa di bulan Ramadhan termasuk ke dalam salah satu golongan yang dirindukan oleh surga. Tak hanya sampai di situ, tiga golongan lainnya dapat terakselerasi di bulan Ramadhan. Kata Prof. Imam, “Surga yang merindukan figur ini, salah satunya itu adalah orang yang berpuasa. Dan yang menarik jamaah sekalian dari beberapa figur ini adalah terbentuk, tercipta, dan diakselerasi di bulan Ramadhan. Jadi, empat figur yang dirindukan oleh surga ini difasilitasi dan diakselerasi di bulan Ramadhan.”
Dengan meningkatnya amal-amal ibadah dan kepekaan sosial, maka segi Keislaman individu akan menguat. Ramadhan sebagai penguat Keislaman yang secara komprehensif memotivasi individu untuk meningkatkan amal ibadah, seperti mengaji, salat malam, bersedekah, menjaga lisan, dan lain sebagainya, maka agregat spiritual dan kesalehan sosialnya menjadi naik. Dari situlah kemudian profil Keislaman individu akan meningkat.
Ada pun Ramadhan sebagai penguat Keindonesiaan terletak pada pengimplementasian nilai-nilai dan kebiasaan yang sudah dilatih di bulan Ramadhan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjaga berbagai sikap dan perilaku yang ditunjukkan selama bulan Ramadhan agar tetap lestari dalam konteks kehidupan bernegara merupakan wujud konkret dari penguatan segi Keindonesiaan yang dapat berwujud sebagai bentuk cinta tanah air. Sebagaimana slogan yang ramai disenandungkan, ‘Hubbul Wathan minal Iman’ (cinta tanah air atau nasionalisme bagian dari iman).
Berbagai bentuk perilaku dan tindakan, seperti merawat hutan, menjaga lingkungan, menjaga tata nilai, sopan santun, suka menolong, musyawarah, menjaga harkat dan martabat orang lain, dan sebagainya merupakan bentuk pengimplementasian dari merawat keindonesiaan yang sejati.
“Dalam konteks keseharian kita adalah bagaimana kita merawat Keindonesiaan dengan mengimplementasikan nilai-nilai yang sudah kita latih, sudah kita selama sebulan ini berlatih di bulan Ramadhan,” tegas Ketua Umum ICMI Malang tersebut di akhir penjelasannya. (Faiz)