Davi Maulana ; QUO VADIS HMI
Berbicara organisasi HMI maka tidak terlepas dari perkaderan, sesuai dengan pasal 8 dalam AD, HMI berfungsi sebagai organisasi kader. Pola perkaderan bermuara pada 5 (lima) landasan yaitu teologis, ideologis, konstitusi, historis dan landasan sosio-kultural. Landasan ini harus ditanamkan dalam proses perkaderan di HMI sebagai sumber inspirasi dan motivasi kader bukan sebatas wacana tapi mampu diaplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Perkaderan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar untuk mengaktualisasikan potensi diri menjadi seorang kader. Pembentukan kader di HMI dilakukan melalui lembaga pendidikan perkaderan di HMI. Kader dalam tubuh organisasi dalam hal ini HMI memiliki fungsi sebagai penggerak organisasi, calon pemimpin, dan sebagai benteng organisasi. Secara kualitatif, kader harus bermutu, mampu bekerja secara individual maupun kelompok serta kader berkorban lebih besar daripada anggota biasa. Kader adalah tenaga penggerak organisasi yang memahami dasar dan ideologi perjuangan, seorang kader harus mampu menjalankan program organisasi secara konsekuen di setiap waktu, situasi dan tempat.
Pada kongres VIII HMI di Solo 10-17 September 1966 merumuskan pengertian kader adalah tulang punggung organisasi, pelopor, penggerak, pelaksana, penyelamat cita-cita HMI masa kini dan yang akan datang di mana pun berada, tetap berorientasi kepada asas dan syariat Islam. Jadi
Fokus perkaderan sesungguhnya dititikberatkan pada kualitas seorang kader. Tugas HMI adalah perkaderan, sehingga dibutuhkan sebuah wadah untuk perkaderan, yang dikelompokan dalam dua macam yaitu training dan aktivitas. Sasaran utama dari berbagai kegiatan HMI adalah watak dan kepribadian anggota, kemampuan ilmiah anggota dan keterampilan anggota. Menurut pandangan penulis watak dan kepribadian kader-kader HMI semakin bergeser dari cita-cita awal berdirinya HMI, karena dalam berperilaku sehari-hari Islam hanya sebatas simbol. Padahal dari rahim HMI munculah kader-kader pemikir Islam brilian seperti Nurcholish Madjid, Utomo Dananjaya, Ekky Syahruddin, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, Imaduddin Abdurrahim, Adi Sasono dan lainnya.
HMI merupakan mesin pencetak pemimpin bangsa, sudah seharusnya kader HMI mampu untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar guna menciptakan lingkungan sendiri sesuai ajaran Islam dan tuntutan moral. Moral sangat dibutuhkan untuk menilai benar dan salah tindakan seseorang dalam masyarakat, sedangkan politik juga dibutuhkan guna mengatur masyarakat sesuai dengan aturan-aturan moral yang telah disepakati. Menurut Imam Ghazali antara moral dan politik tidak bisa dipisahkan, karena keduanya merupakan dua saudara kembar. Penulis membahasakan moral dan politik seperti kertas dan tinta.
Karena saling melengkapi, bagaimana jika polarisasi politik dalam tubuh HMI sudah tidak bermoral, maka yang terjadi adalah malapetaka untuk HMI dan bangsa Indonesia, karena akan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Oleh sebab itu, Cak Nur berpendapat di Media Indonesia, 14 juni 2002 HMI sebaiknya dibubarkan.
Ideologi Wacana
Ideologi adalah sekumpulan ide atau nilai-nilai yang menjadi cita-cita masyarakat dan diharapkan bisa membimbing anggota-anggota masyarakat untuk mengarah ke pencapaian ide yang dicita-citakan itu. Ini merupakan pengertian ideologi yang umum dipakai, meski dalam diskusi filsafat pengertian ini adalah yang paling dangkal. Setiap organisasi memerlukan ideologi, atau apapun namanya, yang berfungsi sebagai pemersatu dan penggerak. Dalam pedoman perkaderan HMI disebutkan bahwa ideologi HMI adalah Islam. Ini konsisten dengan asas HMI yang juga Islam. Ideologi tidak sama dengan asas tetapi asas kerap menjadi ideologi. Ada satu hal yang perlu menjadi catatan berkaitan dengan penggunaan Islam sebagai ideologi HMI. Keampuhan sebuah ideologi akan terbukti hanya jika ideologi tersebut dipahami oleh para penganutnya secara beragam. Jika tidak demikian, fungsi ideologi sebagai pemersatu akan berkurang bahkan hilang.
Ketika berbicara tentang Ideologi HMI maka NDP lah pegangan seluruh kader HMI, Nilai Dasar Perjuangan (NDP) merupakan nilai dasar.
Dipakai sebagai alat melakukan perananan HMI sebagai organisasi perjuangan, didalamnya terdapat 103 buah ayat Al-Quran dan 30 Hadist. Hal-hal yang bersifat ideologis, sebenarnya untuk menciptakan dan memperkuat terbentuknya profil kader HMI, sehingga setiap kader HMI memiliki kualitas tertentu serta memiliki kelebihan dari kader organisasi lain, sebagai garansi obyektif untuk menjalankan misi perjuangan di tengah-tengah dinamika bangsa.
Hal-hal yang bersifat filosofis dan ideologis itu adalah: selain Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HMI sejak tahun 1957 hingga tahun 2004, HMI memiliki 12 naskah atau doktrin perjuangan, yang meliputi: 1) Pemikiran Keislaman-Keindonesian HMI (Tahun 1947) yang juga disebut sebagai ideologi HMI, 2) Tafsir Asas (tahun 1957), 3) Kepribadian HMI (tahun 1962), 4) Garis-garis pokok perjuangan (tahun 1966), 5) Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) (tahun 1969), 6) Gambaran Insan Cita HMI (penjelasan tujuan HMI) tahun 1969, 7) kemudian disempurnakan menjadi tafsir tujuan (tahun 1971), 8) Tafsir Indenpendensi (tahun 1971), nilai identitas kader sebagai pengganti NDP (tahun 1986), memori penjelasan pancasila sebagai dasar organisasi HMI (tahun 1986), nilai-nilai dasar perjuangan (NDP) sebagai pengganti nama NIK (tahun 1999) dan memori penjelasan tentang Islam sebagai Asas HMI (tahun 1999). 12 landasan perjuangan ini lazim disebut sebagai ideology HMI, seperti ditulis A. Dahlan R, ideologi adalah seperangkat ajaran atau gagasan berdasarkan suatu pandangan.
Hidup untuk mengatur kehidupan Negara masyarakat di dalam segi- seginya serta yang disusun di dalam sebuah sistem berikut aturan-aturan operasionalnya.
Nilai-nilai yang terkandung dalam NDP merupakan ajaran agama Islam, sehingga setiap kader dituntut untuk memikul tugas suci (mission sacre) untuk mengajak manusia kepada kebenaran (hanief). Bagaimana mau mengajak sedangkan kader HMI tidak menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga banyak kalangan yang mempertanyakan keberadaan HMI saat ini. Secara historis HMI didirikan salah satunya ingin menegakkan dan mengembangkan syair agama Islam. Ini menunjukkan bahwa HMI bertanggung jawab terhadap permasalahan bangsa dan negara Indonesia serta bertekad mewujudkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan manusia secara utuh.
Degradasi dan Pengkhianatan Intelektual
Dalam kehidupan berbangsa di Indonesia, HMI dikenal sebagai lembaga kemahasiswaan yang mampu melahirkan kader-kader bangsa diberbagai bidang, terutama eksekutif dan legislatif. Ada tiga kekuatan kunci saling bertaut yang telah mampu menciptakan HMI begitu memukau, masing-masing Latihan Kader, Tradisi Intelektual dan Indenpendensi. Ketiga kekuatan itu merupakan kesatuan tidak tercerai berai dan utuh, elemen-elemen pokok yang saling tunjang-menunjang dalam membangun basis perkaderan HMI yang tangguh.
Menjadiperhatian saat ini menurut saya adalah tradisi Intelektual, yang telah mengalami degradasi Sebelum membahas Degradasi intelektual, perlu dijelaskan terlebih dahulu kemunculan istilah intelektual. Intelektual muncul di eropa untuk mereka yang berpikir, intelektual sebagaimana seniman, sastrawan dan orang-orang lain yang menggeluti kreativitas, selalu melihat hal-hal yang tidak dilihat oleh anggota masyarakat yang lain. Kata arab yang diterjemahkan dengan kata intelektual ini adalah al- mutsaqqaf, yakni orang yang diluruskan, yang dididik, bukan lagi bakal atau bahan yang belum diolah.
Karena itu, intelektual memiliki kemampuan melihat dan merasakan hal-hal yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Istilah intelektual lahir dalam sebuah peristiwa yang dikenal dengan “kasus dreyfus”. Kasus tersebut terjadi pada 1896, berawal ketika Alfred Dreyfus, dia Alfred dianggap sebagai mata-mata Jerman untuk membongkar rahasia militer Prancis, ternyata apa yang disebutkan sebagai penghianatan itu adalah palsu belaka dan merupakan hasil penipuan. Dari peristiwa ini kemudian Emile Zola (seorang novelis terkenal saat itu) melayangkan surat yang dikenal sebagai manifeste des intellectuels (manifesto para intelektual). Pada tahap awal munculnya istilah intelektual menunjuk pada sebuah kelompok dengan misi yang diploklamirkan sendiri, yaitu membela sebuah hati nurani bersama atas persoalan-persoalan politik yang mendasar.
Ali Syari’ati memandang setiap nabi adalah intelektual dalam pengertian yang sesungguhnya atau pemikir yang tercerahkan. Mereka berasal dari kelompok miskin yang tertindas oleh sistem kapitalistik dan despolitik pada zamannya. Muhammad itu dilahirkan dari golonga kapitalis (mala) atau penguasa (mutraf), tetapi dari kalangan jelata, kelas kaum tertinda (mustad’afin). Nabi Musa adalah manusia pengembala yang sebagian waktunya dihabiskan bersama ternak-ternak di padang rumput, Nabi Nuh dan Nabi Isa adalah tukang kayu, Nabi Syu’aib dan Hud adalah guru miskin, dan Ibrahim adalah tukang kayu.
Kaum intelektual juga sering dihubungkan dengan kaum akademis. Tetapi, membatasi mereka hanya secara akademis juga kurang benar. Menurut Robert Michles, orang-orang “yang setengah terdidik”, “sebagai Mahasiswa abadi”, atau “otodidak”, dapat juga disebutkan intelektual selama mereka bisa memahami suatu materi ilmu pengetahuan dan menerapkannya dalam bentuk pemikiran atau ide. Orang-orang yang memiliki gelar akademis, dengan demikian belum tentu bisa dikatakan sebagai inteletual. Sebaliknya, orang-orang yang tanpa kualifikasi akademis dapat saja disebutkan intelektual selama bisa memanfaatkan kemampuan berfikir mereka dan memilih pengetahuan yang cukup mengenai pokok bahasan yang dinimati. Filosof Inggris, Herbert Spencer, sekalipun tidak memiliki kualifikasi akademis tertentu, tetapi ia adalah seoarang inteletual pada zamannya.
Kapan Istilah intelektual masuk di Indonesia? Munculnya istilah Intelektual pertama pada abad ke 20. Secara nasional, pada Desember 1929, barulah Soekarno memopulerkan istilah inteletual di hadapan “Openbare Vergadering P.N.I Bandoeng dan Jacatra”, sebagaiman dilaporkan Soewarsono, Soekarno mengatakan “ Kaoem Intelectueel adalah kaoem yang akal dan pikirannya telah mendapat didikan dan pengajaran. Sementara Bung Hatta memopulerkan istilah intelektual dalam pidato bersejarahnya di hadapan sivitas akademika Universitas Indonesia pada 11 Juni 1957 yang berjudul “Tanggung Djawab Moril Kaum Inteligensia”. Hatta menafsirkan inteligensia sebagai sinonim dari intelektual. Bagaimana dengan Intelektual kader HMI? HMI selama ini dikenal dengan tradisi intelektual yang sangat peka dan kuat, karena tradisi intelektual anggota HMI adalah Budaya Membaca. Sampai- sampai karakter yang muncul adalah sendiri membaca, berdua berdiskusi dan bertiga melakukan aksi.
Bahkan saat ini muncul bukan hanya degradasi intelektual tetapi pengkhianatan intelektual (lihat Horiqo). Para pengkhianatan intelektual biasa dialamatkan kepada mereka yang menggunakan pengetahuannya untuk meraih semua kepentingannya tanpa pernah memperdulikan nilai-nilai kebenaran yang ada di hadapannya. Tantangan terbesar kaum intelektual adalah mempergunakan ilmunya untuk mengatakan kebenaran.
Merujuk pada pendapat filosof Goethe, intelektual kadang juga bergerak ke jalan yang salah, hingga disini masih dapat dimaklumi, namun menjadi tidak lazim jika intelektual dengan kesadaran atau sengaja memilih jalan yang salah. Intelektual dibedakan menjadi dua tipe, pertama intelektual benar yang bekerja untuk dan bagi kebenaran universal, dia tidak menjadi hamba pada kepentingan politik tertentu, apalagi demi hanya untuk makan. Kedua, inetelektual palsu yang telah mengkhianati filosofi keintelektualan mereka dan telah melanggar standar-standar keintelektualan serta terlibat dalam politik praktis yang menjadikan kebenaran dan keadilan ditentukan dan dikendalikan oleh asas kemanfaatan.
Seorang pemimpin harus mempunyai keahlian dan pengetahuan yang sangat luas yang diperoleh melalui pengembangan diri. Pengembangan diri ini menghasilkan keterampilan-keterampilan seperti keterampilan teknis, keterampilan manajemen sumber daya manusia, dan keterampilan konseptual. Kepemimpinan adalah kekuasaan untuk mempengaruhi seseorang, baik dalam mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakan sesuatu. Jika semakin tinggi kedudukan seorang pemimpin dalam organisasi maka semakin dituntut daripadanya kemampuan berfikir secara konsepsional, strategis dan makro. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam organisasi maka ia akan semakin generalist, dan semakin besar tanggung jawab terhadap suatu kelompok atau organisasi yang ia pimpin, sedangkan semakin rendah kedudukan seseorang dalam organisasi maka ia menjadi spesialis.
Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaannya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan kepribadiannya. Seorang pemimpin sejati selalu bekerja keras untuk memperbaiki dirinya sendiri sebelum dia sibuk memperbaiki diri orang lain. Pemimpin bukan hanya sekedar mendapatkan gelar atau jabatan yang diberikan dari luar namun melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal contohnya lahir dari rahim Proses perkaderan di HMI itu sendiri.
HMI (Harapan Masyarakat Indonesia)
Pada akhirnya, Sebuah gerakan yang konkrit adalah jawaban dari segala macam hiruk pikuk dinamika dan sejarah dari organisasi hijau hitam ini. Membaca kondisi dan situasi nasional dari kacamata intelektual dan berpegang teguh pada satu cakupan independensi etis yang menunjukkan keberpihakkan kepada masyarakat indonesia adalah suatu corak ideologis HMI dalam positioning nasionalisme di negara merah putih ini. Menjunjung tinggi kepentingan kesejahteraan manusia diatas kepentingan organisasi adalah bentuk tugas yang dicita citakan oleh para founding father HMI. Sehingga butuh satu konsolidasi nasional yang utuh dari sudut aparatur organisasi hingga sikap dan moralitas HMI secara komprehensif di tataran grassroot. Kemudian mampu menjadi emporium gagasan yang kemudian dijadikan satu opsi pertimbangan utama dalam kebijakan negara. Idiom ini harus diterjemahkan secara baik dan asketis, guna mewujudkan tujuan HMI yang cukup utopis.
Penulis menganggp bahwa, gerakan kekinian yang harus segera diwujudkan adalah melalui gerakan – gerakan intelektual baik secara akademis maupun non akademis. Membawa semangat intelektual ke tengah masyarakat dan berpartisipasi aktif dalam upaya negara mencerdaskan bangsa adalah abstraksi yang mampu dijadikan pendahuluan gerakan HMI.
Mulai membiasakan budaya intelektual HMI dari membaca buku menuju level pembuatan karya ilmiah atau jurnal adalah langkah yang menarik dan sangat taktis dibutuhkan dalam partisipasi peningkatan intelektual kader. Langkah ini runtut harus dilakukan secara serius dengan semangat penguasaan jumlah jurnal ilmiah di indonesia yang harus didominasi oleh kader HMI.
Dalam pelatihan formal kader hari ini semisal, secara umum Advance training atau Latihan Kader III memiliki syarat pembuatan jurnal untuk para kader diperbolehkan mengikuti pelatihan tersebut. Namun proses ini masih tidak serius karena di lapangan, persyaratan ini hanya formalitas dan proses verifikasi jurnal yang masih ada pada level internal.
Banyangkan bila, Seluruh BADKO di indonesia menerapkan syarat pengajuan jurnal untuk Advance Training melalui proses verifikasi dengan bekerjasama dengan kemenristek dikti yang levelnya setara dengan aturan jurnal ilmiah di dunia. Dari ide itu penulis mengira bahwa HMI akan menjadi satu satunya organisasi kepemudaan penyumbang gagasan terbesar yang riil untuk negara dalam bentuk yang jelas yaitu Jurnal Ilmiah.
Tentunya ide ini membutuhkan kolaborasi dan sinergitas dari seluruh elemen organisasi baik internal maupun eksternal. Ditambah dengan kesiapan ujung tombak organisasi yaitu kader seluruh indonesia yang mau dan serius merawat kembali organisasi ini menuju jalan panjang perjuangan, yaitu jalan intelektual keislaman keindonesiaan menuju masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. (Admin)
*Penulis: Davi Maulana (Presidium dan Kandidat Ketua Umum HMI BADKO Jawa Timur)