Islam, Politik Dan Intoleransi Di Indonesia

Rabu, Agustus 25, 2021 Oleh: Admin

Relasi agama dan politik ini selalu menarik diperbincangkan. Akademisi, agamawan, politisi, aktivis, bahkan birokrat sama-sama bergairah membicarakan masalah agama dan politik. Ada cukup banyak karya akademik yang mendiskusikan fenomena hubungan agama dan politik ini. Jonathan Fox, misalnya, seorang profesor ilmu politik di Bar-Ilan University, Israel, telah menulis banyak karya akademik mengenai hubungan kompleks dan rumit antara agama (berbagai agama di dunia) dan politik (berbagai sistem dan aktivitas politik).

Salah satu karya Jonathan Fox yang cukup komprehensif tentang hal ini adalah An Introduction to Religion and Politics: Theory and Practice, sebuah “tour de force” yang mengombinasikan teori-teori relasi agama dan politik, serta data survei mengenai kebijakan-kebijakan politik tentang keagamaan dari sekitar 177 Pemerintah atau Negara.

Hasil survei ini menunjukkan adanya pluralitas sikap terhadap agama dan politik. Pemerintah yang mendukung maupun membatasi ruang gerak agama sama-sama besarnya.Satu sisi, banyak pemerintah yang “mengunci” peran sentral agama di publik, sementara di pihak lain banyak juga agama yang mempengaruhi dan mendikte dunia politik. Netralitas politik terhadap agama semakin menjadi barang langka. Pada saat yang sama, agama juga menjadi entitas yang semakin penting dalam politik. Fox menulis, “Religion is becoming an inescapable issue in politics”.

Fox benar. Ada negara-negara yang memisahkan secara ketat antara politik dan agama seperti sejumlah negara di Eropa. Tapi ada pula yang menganggap agama sebagai instrumen penting dalam politik-pemerintahan seperti Amerika Serikat dan berbagai negara yang mayoritas berpenduduk Muslim. Tetapi, perlu dicatat, itu bukan berarti bahwa masyarakat di sebuah negara mengikuti pola pemikiran dan pandangan yang sama dan seragam. Pluralitas pemikiran, pandangan, dan praktik masyarakat selalu hadir di mana-mana.

Dengan kata lain, meskipun di sejumlah negara Eropa modern, banyak masyarakat yang menginginkan pemisahan agama dari politik, tetapi banyak juga yang menginginkan “Kembalinya” agama dalam dunia politik-pemerintahan, seperti terjadi di zaman Eropa abad pertengahan. Munculnya gagasan “Demokrasi Kristen” di Eropa, seperti pernah ditulis Stathis Kalyvas dalam The Rise of Christian Democracy in Europe, menunjukkan munculnya kembali keinginan sejumlah kelompok Kristen kontemporer di Eropa tentang pentingnya mengawinkan kekristenan (keagamaan) dengan dunia politik-pemerintahan.

Hal yang sama juga terjadi di Amerika. Meskipun banyak pihak yang menganggap pentingnya norma-norma Judeo-Christianity dalam “mengarahkan” jalannya pemerintahan, banyak juga yang berpendirian agama sebagai “penghambat” jalannya demokrasi liberal, sehingga harus “diprivatkan”. Mereka berpendapat, jangan sampai menjadi “agama publik” yang bisa berpotensi mengacaukan sistem dan tatanan demokrasi liberal, yang bertumpu pada kebebasan individu dan sekularisme.

Sejarah Indonesia dari dulu hingga kini, sebelum maupun sesudah kemerdekaan, juga tidak lepas dari kontroversi relasi agama (khususnya Islam) dan politik.
Ada kelompok yang menganggap Islam dan politik adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Ada juga yang berargumen Islam dan politik harus dipisah secara ekstrem.

Yang lain lagi menolak agama terlibat dalam “politik praktis-kekuasaan”, tetapi membolehkan “politik non-praktis”, yaitu sejenis “politik kerakyatan” di luar negara atau pemerintah.

Dulu, pada masa penjajahan Belanda, banyak ulama bekerja sama dengan kompeni, baik sebagai penasihat politik-agama seperti Habib Usman bin Yahya (1822–1913), yang menjadi penasihat Belanda atas usul Christian Snouck Hurgronje, sebagai pejabat pengadilan agama maupun sebagai petugas keagamaan untuk mengurusi masjid dan ritual keislaman.

Tetapi ada juga ulama yang menolak kongkalikong dengan Belanda dan memilih menjadi oposan pemerintah kolonial, yang menginisiasi perlawanan di sejumlah daerah. Setelah Indonesia merdeka, para elit Muslim terbelah: sebagian pro “perkawinan” antara Islam dan politik, sebagian lagi memilih “perceraian” Islam dan politik.

Era Orde Lama menunjukkan, kelompok “Islam politik” gagal meraih panggung kekuasaan setelah dibekukan oleh Bung Karno. Fenomena ini berlanjut di zaman Orde Baru. Pak Harto yang terkenal sebagai “diktator bertangan dingin”, juga tidak memberi ruang secuil pun bagi pertumbuhan kelompok “Islam politik”.
Waktu itu, Pak Harto hanya memberi ruang bagi perkembangan “Islam budaya”, karena itu para aktivis “Islam politik” (termasuk para pentolan eks-Masyumi) memilih bungkam dan tiarap. Mereka melakukan berbagai aktivitas pengajian dan pertemuan keagamaan secara diam-diam, tidak berani secara terbuka. Karena mereka tahu, Pak Harto tidak menyukai kelompok Muslim yang menggunakan Islam sebagai “instrumen politik”, yang bisa mengganggu stabilitas nasional dan “stabilitas Cendana”.

Hanya pada awal 1990-an saja, Pak Harto mulai “melirik” sejumlah teknokrat Muslim modernis dan cendekiawan Islam moderat, yang ternyata sebagian justru menjadi “Brutus” bagi Pak Harto, yang turut menikam ketika Indonesia diterpa gelombang krisis ekonomi dan moneter, yang membawa pada tumbangnya kekuasaan Orde Baru.

Lengsernya Pak Harto dan “rontoknya” rezim Orde Baru membawa angin segar bagi kelompok Islam politik dan kaum Islamis, yang menginginkan Islam terlibat secara total dalam kepolitikan guna mengatur jalannya roda pemerintahan dan kenegaraan.

Mereka yang dulu “ngumpet” mulai bermunculan dan menggelar berbagai acara berkaitan dengan “Islam politik” secara terang-terangan. Lengsernya Pak Harto berarti lahirnya iklim demokrasi yang memberi ruang lebar-lebar bagi kebebasan individu (termasuk kaum Islamis tadi), untuk berekspresi.

Tetapi ironisnya, atas nama agama, sejumlah kelompok Islam radikal dan intoleran justru sering berbuat ulah, memadamkan api kebebasan dengan memberangus berbagai kelompok atau sekte keagamaan, yang mereka hakimi sebagai sesat dan menyimpang dari “kanon resmi” Islam.

Mereka mau hidup bebas-merdeka tetapi tidak mau memberi ruang kebebasan-kemerdekaan itu kepada orang dan kelompok lain. Ironisnya lagi, mereka juga mengecam demokrasi sebagai “budaya kafir, Pancasila sebagai “sistem thoghut”, Indonesia sebagai negara tidak Islami, dan seterusnya. Padahal, mereka bisa mengekspresikan pendapat dengan bebas dan merdeka itu justru karena demokrasi. Dalam sistem politik otoriter seperti zaman Orde Baru dulu, kebebasan menjadi barang mewah.

Pelan tapi pasti, berbagai kelompok “Islam politik” ini semakin liar dan menjadi-jadi, karena mendapatkan panggung lebar untuk berekspresi dalam payung demokrasi. Akibatnya, banyak hal mulai tampak “overdosis”: semua diukur dari kaca mata Islam dan harus sesuai dengan norma-norma Islam.

Padahal, apa yang mereka klaim sebagai “ajaran Islam” itu, dalam realitasnya sebetulnya adalah “wacana keislaman”, yang diproduksi oleh sejumlah pemikir-aktivis Muslim dan ulama favorit mereka. Seperti konsep “Negara Islam” yang mereka usung dan klaim sebagai “ajaran Islam”, itu jelas merupakan produk politik sekuler kontemporer pascakolonialisme yang diinisiasi tokoh-tokoh seperti Abul A’la al-Maududi atau Sayyid Qutb, yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan ajaran Islam.

Ibarat rumah, Indonesia bukan hanya dihuni oleh kaum Muslim, tetapi juga umat non-Muslim yang sudah semestinya mendapat hak yang sama dengan kaum Muslim. Sebab mereka (umat non-Muslim) memiliki kewajiban yang sama dengan umat Islam sebagai anggota keluarga. Karena itu alangkah eloknya jika masing-masing pihak dan kelompok etnis-agama di Indonesia bersikap toleran dan tidak arogan karena negara ini bukan hanya didirikan oleh umat Islam tetapi juga oleh umat agama lain. (Admin)

*Penulis: Davi Maulana (Wasekum Bidang Kesehatan dan Ketenagakerjaan Himpunan Mahasiswa Islam Badan Koordinasi Jawa Timur 2019-2021)