Dua Pakar UB Bahas Proyeksi Politik Pasca Pemilu
Reportasemalang – Universitas Brawijaya (UB) mengadakan kegiatan Bincang Santai Bersama Pakar (BONSAI) bertema Proyeksi Politik Pasca Pemilu, Selasa (27/2/2024)
Dua narasumber yang dihadirkan dalam BONSAI kali ini adalah Pakar Hukum Pemilu Prof. Dr. Muchamad Ali Safaat, SH., MH dan Pengamat Politik Wawan Sobari, S.IP., MA., Ph.D.
Kondisi politik pasca pemilu menjadi isu yang menarik untuk dibahas. Hal itu karena masih ada berbagai kemungkinan yang bisa terjadi sebelum dan sesudah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil rekapitulasi peroleh suara.
Termasuk potensi adanya sengketa dalam Pemilu 2024 ini dinilai cukup besar. Diprediksi akan ada beberapa pihak yang melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas dugaan pelanggaran yang terjadi dalam Pemilu 2024.
Sebagai lembaga tinggi negara yang punya wewenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, tentu banyak pihak yang berharap memperoleh keadilan dari MK.
Namun dengan segala dinamika yang terjadi di MK, utamanya setelah MK mengeluarkan putusan No.90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden, yang telah terbukti melanggar kode etik, masih bisakah publik percaya kepada MK untuk mengadili perkara lain seperti sengketa Pemilu?
Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Brawijaya (UB) Prof. Dr. Muchamad Ali Safaat, SH., MH berpendapat, meski beberapa hakim di MK pernah terbukti melalukan pelanggaran etik, MK saat ini bisa dipercaya untuk dapat memberikan putusan yang objektif.
“Menurut saya putusan MKMK yang memberhentikan Anwar Usman dan juga melarang untuk ikut memutus perkara perselisihan hasil pemilu itu cukup untuk mengembalikan kepercayan publik. Meskipun belum keseluruhan kepercayan terhadap konsitusi,” ucapnya.
Secara garis besar, dia menilai, saat ini hakim di MK terbagi atas 3 golongan. Yang pertama yakni mereka yang sangat terpercaya dan berintegritas. Kedua yakni hakim yang cenderung memihak atau bersikap seperti politisi, dimana mereka mempertimbangkan kekuatan politik untuk mengambil keputusan. Dan ketiga adalah hakim yang dapat merubah sikapnya tergantung pada kondisi, atau dalam Pemilu biasa disebut dengan swing voter.
“Kenapa MK bisa dipercaya, karena kondisinya saat ini menurut saya hakim yang terpercaya ini sedang dominan,” kata Prof Ali.
Meski beberapa hakim MK telah telah dinyatakan melanggar kode etik karena mempunyai konflik kepentingan dalam putusan 90, namun menurut Prof Ali masih ada beberapa hakim yang tidak setuju dengan putusan yang dianggap tidak objektif tersebut. Hal itu dibuktikan dengan adanya dissenting opinion atau perbedaan pendapat atas putusan tersebut. Hal yang sama juga terjadi dalam beberapa putusan seperti dalam pengujian UU Cipta Kerja.
Sehinggga menurutnya MK masih bisa memberikan putusan yang objektif dalam berbagai hal, termasuk dalam sengketa Pemilu yang berpotensi terjadi di tahun 2024 ini.
“Menurut saya saat ini MK sangat berhati-hati dalam melakukan tindakan, dan kita bisa mempercayai independensi dan impersialitasnya,” pungkas Prof Ali.
Sementara itu Wawan Sobari menyampaikan soal model bangunan pemerintah 2024 dan prediksi koalisi dan oposisi yang akan datang. Dia menjelaskan, ada dua partai yang paling berpotensi jadi oposisi yakni PDI dan PKS.
Secara prediksi berdasarkan pengumpulan data terkini dari berbagai lembaga survei oposisi sebesar 25% berbanding koalisi dengan jumlah 75%. Meski kalah secara suara, PDIP dan PKS bisa berjuang lewat narasi, misalnya dengan hak angket.
“Persoalan angka rendah, yang penting menyuarakan keinginan publik, bahwa oposisi itu memang penting. Konteksnya tidak hanya di dalam parlemen, bisa juga lewat digital. Ingat ada suara publik sebesar 25% yang tidak setuju dan itu perlu diperjuangkan,” ucap Wawan Sobari di depan para media yang hadir.
Khusus PDIP, Wawan menegaskan bahwa partai ini sudah punya catatan menjadi oposisi selama dua periode saat kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pakar UB in berharap PDIP punya garis tegas menjadi oposisi bukan karena alasan Jokowi berkhianat, melainkan karena memang kalah dalam kontestasi pemilu .
“Meski ada pertemuan Jokowi dengan Megawati, kalau melihat karakter PDIP saya pikir tidak akan masuk sebagai koalisi. Mereka sepertinya tetap akan menjadi oposisi,” ujar Wawan.
Dijelaskan dalam teori penentu koalisi ada 8 hal yang dapat dilihat. Pertama, komposisi partisan (kursi legislator). Kedua, pembagian jabatan eksekutif antara pihak-pihak yang berpartisipasi.
Ketiga, alokasi portofolio. Keempat, kesamaan ideologis. Kelima, kekuatan partai inti. Keenam, pemimpin partai. Ketujuh institusi (aturan koalisi). Dan terakhir, titik ideal median pemilih (isu)
“Sementara untuk teori penentu oposisi ada 5, yaitu pengaturan kelembagaan oposisi (peluang mempengaruhi kebijakan), partai/pemimpin partai, polarisasi ideologi, tingkat fragmentasi legislatif (partai), dan preferensi median badan legislatif,” pungkasnya.